June 9, 2012

BAPAKU PEMULUNG ULUNG

 religious_048
Suatu hari Guru sekolah minggu memberikan tugas kepada murid-muridnya: Seperti apa Allah Bapa itu?
"Untuk mudahnya, kalian harus melihat Dia sebagai seorang Bapa.. seorang papi," ujar guru tsb.

Minggu berikutnya, guru tsb menagih PR dari setiap murid yang ada.
"Allah Bapa itu seperti Dokter!" ujar seorang anak yang papanya adalah dokter.
"Ia sanggup menyembuhkan sakit penyakit seberat apapun!"

"Allah Bapa itu seperti Guru!" ujar anak yang lain. "Dia selalu mengajarkan kita untuk melakukan yang baik dan benar."

"Allah Bapa itu seperti Hakim!" ujar seorang anak yang papanya adalah hakim dengan bangga, "Ia adil dan memutuskan segala perkara di bumi."

"Menurut aku Allah Bapa itu seperti Arsitek. Dia membangun rumah yang indah untuk kita di surga!" ujar seorang anak tidak mau kalah.

"Allah Bapa itu pokoknya kaya sekali deh! Apa saja yang kita minta Dia punya!" ujar seorang anak konglomerat.
Guru tsb tersenyum ketika satu demi satu anak memperkenalkan image Allah Bapa dengan semangat.

Tetapi ada satu anak yang sedari tadi diam saja dan nampak risih mendengar jawaban anak2 lain.
"Eddy, menurut kamu siapa Allah Bapa itu?" ujar ibu guru dengan lembut.
Ia tahu anak ini tidak seberuntung anak2 yang lain dalam hal ekonomi, dan cenderung lebih tertutup.

Eddy hampir2 tidak mengangkat mukanya, dan suaranya begitu pelan waktu menjawab,
"Ayah saya seorang pemulung... jadi saya pikir... Allah Bapa itu Seorang Pemulung
Ulung."
Ibu guru terkejut bukan main, dan anak-anak lain mulai protes mendengar Allah Bapa disamakan dengan pemulung.

Eddy mulai ketakutan.
"Eddy,"ujar ibu guru lagi.
"Mengapa kamu samakan Allah Bapa dengan pemulung?"
Untuk pertama kalinya Eddy mengangkat wajahnya dan menatap ke sekeliling sebelum
akhirnya menjawab,
"Karena Ia memungut sampah yang tidak berguna seperti Eddy dan menjadikan Eddy manusia baru, Ia menjadikan Eddy anakNya."

Memang bukankah Dia adalah Pemulung Ulung?
Dia memungut sampah-sampah seperti saudara dan saya, menjadikan kita anak-anakNya, hidup baru bersama Dia, dan bahkan menjadikan kita pewaris kerajaan Allah.

How Much is the Cost of A Miracle?

indah pd wktnya
Inilah kisah tentang Tess yang menakjubkan. Tess adalah seorang gadis delapan tahun yang cerdas. Pada suatu hari ia mendengar ayah dan ibunya berbicara serius tentang adiknya, Andrew. Tess tidak mengerti apa yang mereka katakan, namun ia tahu satu hal: adiknya, Andrew, sangat sangat sakit dan mereka tidak punya uang. Mereka akan terpaksa menjual rumah itu dan pindah ke ruang apartemen yang lebih kecil karena ayah dan ibunya tidak cukup punya uang untuk membayar dokter dan biaya pengobatan adiknya. Selain itu hanya dengan pembedahan yang biayanya sangat mahal dapat menyelamatkan Andrew sekarang ini, dan tak ada seorangpun yang dapat meminjamkan uang kepada mereka. Pada waktu itu Tess mendengar, “Hanya mukjizat yang dapat menolong Andrew saat ini.”
Tess berlari ke kamarnya, mengambil sebuah toples jelly dari tempat persembunyiannya. Ia mengeluarkan semua uang recehan dari dalam toples itu dan menggelarnya di lantai dan menghitungnya dengan teliti. Ia memasukkan kembali uang recehan itu ke toples dan membawanya ke luar, ke Apotik Rexall, enam blok jauhnya dari rumahnya.
Petugas apotik sedang berbicara dengan seorang pria dengan serius dan tidak memperhatikan Tess yang masuk ke sana. Tess menanti dengan sabar dan berdehem agak keras untuk menarik perhatiannya, tapi rupanya belum berhasil, petugas apotik tidak melihatnya.
Akhirnya Tess dapat menarik perhatian petugas itu ketika ia meletakkan toples jelly di atas lemari kaca apotik. Petugas itu melihat kepadanya dan berkata, “Tunggu sebentar ya. Saya sedang berbicara dengan saudara saya dari Chicago yang sudah lama tidak ketemu.”
“Baiklah,” kata Tess, “saya ingin membicarakan adik saya. Ia sangat, sangat sakit dan saya ingin beli “mukjizat”. Namanya Andrew dan di kepalanya ada sesuatu yang membuatnya sakit dan ayah saya bilang bahwa hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan adik saya sekarang. Jadi, berapa harga sebutir ‘mukjizat’? Saya bawa uang untuk membelinya. Itulah semua uang yang saya tabung selama ini. Kalau itu tidak cukup, saya akan cari uang lagi. Berapa sih harga sebutir ‘mukjizat’?”
Saudara petugas apotik itu adalah seorang yang berpenampilan sangat parlente. Ia jongkok menghadapi Tess dan bertanya,”Mukjizat macam apa yang dibutuhkan adikmu?” “Aku tak tahu pasti,” jawab Tess dengan mata kebingungan. “Saya hanya tahu ia sangat kesakitan dan ibu saya bilang ia perlu dioperasi. Tetapi orang tua saya tidak punya uang, maka saya akan pakai uang saya.”
“Berapa yang kamu punya?” tanya pria dari Chicago itu.
“Saya punya uang satu dollar sebelas sen!” kata Tess dengan bangga. “Itulah semua yang saya punya, tetapi saya akan dapatkan lagi kalau saya perlu.”
“Wah, kamu beruntung sekali,” kata pria itu sambil tersenyum. “Satu dollar sebelas sen itu pas sekali untuk membeli ‘mukjizat’ bagi adikmu.”
Pria itu menerima uang dari Tess dan menggandeng lengan anak itu sambil berkata, “Antarkan saya ke rumahmu. Saya ingin melihat adikmu dan bertemu orang tuamu. Ayo kita lihat, apakah saya punya jenis mukjizat yang kamu butuhkan.”
Pria dari Chicago itu adalah Dr. Carlton Armstrong, seorang ahli bedah otak. Operasi di kepala Andrew berhasil dilaksanakan tanpa biaya dan tidak berapa lama kemudian Andrew pulang kembali ke rumah. Ibu Tess sangat berterima kasih. “Pembedahan itu,” kata ibunya,”benar-benar mukjizat yang nyata.” Dan ia kemudian berkata, ”Saya tak tahu berapa nilai mukjizat itu!”
Tess tersenyum. Ia tahu dengan persis berapa harga mukjizat itu: satu dollar sebelas sen, ditambah dengan belas kasih seorang dokter spesialis terkenal, ditambah kasih seorang kakak perempuan. Orang bisa bilang,”Ah, cuma satu dollar sebelas sen”. Tapi itulah semua uang yang Tess miliki. Ia memberikan semua uangnya demi menyelamatkan nyawa adiknya, dan itulah pemberian luar biasa.
Source: Pentas Kesaksian

The Last Leaf

flat,550x550,075,f
DAUN TERAKHIR

Di tahun 1967 New York adalah kota kumuh yang sangat memprihatinkan. Gedung-gedung tua berjejer. Apartemen yang sempit, tembok yang berjamur, dan orang-orang aneh menjadi ciri khas kota itu. Orang-orang aneh itu sebagian besar adalah para pelukis jalanan. Mereka mencari nafkah dengan melukis, baik itu melukis di kanvas maupun melukis di trotoar. Sebagai pelukis jalanan, mereka hanya mampu mencukupi makan tiap hari dan sewa apartemen yang murah.
Salah satu dari mereka adalah Marie. Dengan adiknya mereka berdua menyewa kamar yang sempit, yang sangat tidak layak untuk ditempati. Tempat tidur yang sudah busuk, dinding yang berjamur dan menyebarkan bau yang tidak enak, tapi apa boleh buat, uang yang mereka dapat tiap hari kadang untuk makan saja tidak cukup. Biarpun demikian, mereka pantang untuk melakukan sesuatu yang jelek atau melanggar hukum. Pernah ada yang menawari Marie dan adiknya, Joan, untuk memanfaatkan tubuh mereka demi uang, tapi mereka menolaknya mentah-mentah. Para pelukis di daerah itu memang memegang prinsip yang patut dibanggakan, mereka lebih memilih hidup miskin dan berkekurangan daripada berbuat sesuatu yang salah.
Para pelukis itu adalah orang Kristen. Setiap Minggu mereka selalu berkumpul untuk beribadah, meskipun tanpa Pendeta yang melayani, mereka memakai saat itu untuk saling bertukar cerita dan saling menguatkan. Jika ada yang kurang beruntung, mereka akan saling menopang dan saling berbagi.
Suatu saat, saat musim dingin menusuk kota New York, Joan jatuh sakit. Tubuhnya menjadi sangat lemah dan semakin parah. Untuk bangun dari tempat tidur saja dia tidak kuat. Dengan uang yang terkumpul dari para pelukis jalanan itu, Marie memanggil dokter, dan hasil pemeriksaan dokter sungguh mengejutkan. Joan menderita radang paru-paru, akibat dia selalu bekerja di luar menjual lukisan di trotoar, di tengah musim dingin, tanpa baju hangat yang layak. Untuk sembuh, Joan harus beristirahat total, makan yang cukup bergizi, dan yang terpenting adalah semangat hidup yang tinggi untuk melewati masa-masa kritis di tengah musim dingin. Ini menjadi masalah terbesar. Joan putus asa dan tidak mempunyai semangat hidup. Banyak teman datang untuk menguatkan dia, tapi percuma saja. Joan berpikir bahwa inilah akhir hidupnya. Dia tahu benar keadaannya. Dia tidak akan mendapatkan makanan yang bergizi, dia tidak akan mendapatkan kehangatan yang cukup untuk melewati musim dingin, dan tidak ada obat untuk membantu dia bertahan. Semakin hari dia semakin putus asa dan semakin lemah.
Marie sangat sedih akan hal ini.. Semua upaya sudah dilakukan untuk membesarkan hati Joan, tapi sia-sia. Joan tidak bergairah untuk makan, bahkan untuk berbicara dengan siapa pun. Dia hanya mengucapkan beberapa kata di pagi hari, yaitu ketika matahari terbit. Dia akan meminta Marie untuk membuka jendela kamar agar dapat melihat tanaman yang merambat di dinding tembok yang berhadapan dengan kamar mereka. Tanaman itu merupakan tanaman menjalar yang berdaun lebar, dan tanaman itu merupakan semangat hidup Joan satu-satunya. Setiap kali Marie membukajendela, Joan akan melihat tanaman itu dan sambil tersenyum lemah dia akan berkata, "Tanaman itu lucu sekali, dia tahu bahwa dia hanya tanaman kecil yang lemah, hanya dapat bergantung pada tembok yang kokoh itu. Tapi dia sombong sekali, mengira bahwa dengan bersandar pada tembok itu dia dapat melewati musim dingin yang ganas ini." Joan kemudian melanjutkan, "Suatu saat semua daunnya akan gugur dihantam angin musim dingin, saat itu, aku juga akan pergi bersama dia." Marie amat sedih jika mendengar Joan mengatakan ini.
Setiap pagi Joan selalu menghitung daun-daun itu. "Tujuh daun lagi," dan keesokan harinya, "Enam daun lagi", "Lima daun lagi", dan Joan semakin lemah dan lemah. Marie pun putus asa, tidak ada harapan sama sekali. Dia hanya dapat berdoa agar Joan tetap bertahan, dan setiap pagi dia akan membuka jendela dengan hati yang berdebar-debar, berharap masih ada daun di situ.
Suatu pagi, Marie tergoncang sekali ketika melihat hanya ada satu daun yang tersisa melekat di tembok itu. Joan tersenyum lemah, "Waktunya sudah dekat, malam ini angin dingin akan mengantar kami." Marie semakin pasrah, malam itu dia tidak tidur, seiring dengan terjadinya badai dia berdoa dan menangis. Angin mengguncang jendela-jendela dengan dahsyat. Marie tetap berlutut sambil berdoa dan menangis. Ia meminta suatu keajaiban, sesuatu yang dapat menahan kepergian Joan, karena dia amat mencintai adik satu-satunya ini. Akankah Joan pergi dan bergabung dengan segenap keluarga yang telah mendahului mereka? Ayah, Ibu dan adik-adiknya meninggal ketika terjadi kebakaran. Api menelan semua harta mereka. Setelah mereka bertahan hidup sekian tahun, akankah Joan meninggalkan dia juga?
Keesokan pagi adalah pagi yang menentukan. Dengan lemah Joan membuka mata dan meminta Marie membuka jendela agar dia dapat melihat tanaman itu. Dengan gemetar Marie membuka jendela, dan... ajaib! Daun itu masih melekat pada tembok. Mustahil! Padahal, semalam terjadi badai yang dahsyat, tetapi di pagi hari ini daun itu masih melekat pada tembok seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam. Joan tersenyum lagi dan berkata, "Aku masih mempunyai satu hari lagi!" Marie sangat senang, tapi dia tetap khawatir. Kemarin daun itu dapat bertahan, tapi hari.ini atau besok pasti diaakan gugur juga. Marie benar-benar sudah pasrah, dia cuma bersyukur bahwa dia masih boleh bersama Joan pada hari ini.
Besoknya, kembali dengan tangan gemetar Marie membuka jendela, dan... daun itu masih tetap di sana! Marie tidak dapat memercayai hal ini, tapi dia amat senang. Dia mengucap syukur dengan tidak henti-hentinya. Beberapa hari setelah itu, daun itu masih tetap bertahan. Pada hari berikutnya, Joan tersenyum dan berkata kepada Marie, "Daun itu menyadarkan aku. Kalau dia bisa sekuat itu, aku juga bisa. Tolong buatkan bubur, aku amat lapar."
Marie sangat gembira. Joan sudah mau makan dan semangat hidupnya tumbuh kembali. Hari demi hari Marie merawat Joan dan tiga minggu kemudian, Joan sudah berangsur-angsur pulih. Pada hari Minggu berikutnya, para pelukis berkumpul untuk kebaktian. Joan amat senang dapat berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatnya itu. Tapi tiba-tiba dia merasa ada yang tidak hadir. "Adakah yang dapat mengatakan padaku di mana si tua Paul? Sewaktu aku terbaring sakit, dia sering datang membawakan kue kismis dan menghiburku. Waktu itu aku terlalu sakit untuk mempedulikannya, apakah ia kecewa dan oleh karena itu tidak pemah mengunjungiku lagi? Aku ingin minta maaf dan mengucapkan terima kasih padanya." Mendadak semuanya terdiam, dengan suara perlahan Marie menjawab, "Joan, bulan lalu pada pagi hari sesudah badai itu si tua Paul ditemukan meninggal di kamarnya. Ia meninggal kedinginan, di tangannya ia menggenggam sebuah kuas dan kaleng cat. Daun yang terakhir itu, merupakan karya terakhirnya. . . " (Dikutip dari "KORAN LANSIA" yang diterbitkan GKI Muara Karang, No. 47/Desember 2007)
 
Source: Pentas Kesaksian

Gadis Kecil Ayah

guardian-angel

“Maukah ibu memberitahu hal ini kepada ayah?”
Itulah bagian yang paling buruk yang pernah saya alami. Pada usia tujuh belas, saya harus memberitahu ibu bahwa saya hamil sebelum pernikahan. Lebih berat lagi, saya harus memberitahu hal yang sama kepada ayah. Ayah selalu menjadi pribadi yang memberikan keberanian dan kekuatan bagi saya dalam kehidupan ini. Beliau selalu memandang saya dengan penuh kebanggaan, dan saya telah berusaha agar kehidupan saya selalu membanggakan beliau. Hanya sampai saat ini. Kini semuanya berantakan. Saya tidak akan menjadi gadis kecil ayah lagi. Ia tidak akan pernah memandang saya dengan cara yang sama lagi. Saya menghembuskan nafas berat dan bersandar pada bahu ibu untuk mendapatkan kenyamanan.
“Aku harus membawa engkau ke suatu tempat, sementara aku berbicara dengan ayahmu. Mengerti kenapa?”
“Ya, Bu.” Karena ayah tidak akan dapat bangga lagi dan memandang gadis kecilnya, itulah alasannya. Saya pergi malam itu ke gereja dan bertemu dengan Pendeta, yang dengannya saya merasa aman pada waktu itu. Ia menguatkan dan menghibur saya, sementara ibu pulang ke rumah dan menelpon ayah di kantor untuk menyampaikan kabar buruk kehamilan saya.
Nampaknya seperti mimpi. Pada waktu itu saya merasa nyaman bersama Pendeta yang tidak menyalahkan saya. Kami berdoa dan berbicara, dan saya mulai menerima dan mengerti jalan yang harus saya hadapi. Lantas saya melihat kilatan cahaya lampu mobil di jendela gereja.
Ibu telah kembali dari rumah untuk menjemput saya pulang, dan saya tahu ayah ada bersamanya di mobil. Saya begitu takut. Saya berlari ke ruang tengah dan masuk ke kamar mandi, menutup dan menguncinya dari dalam. Pendeta mengejar saya dan menegur saya.
“Michelle, kamu jangan berlaku begini. Kamu harus menemui ayahmu cepat atau lambat. Ia tidak akan pulang kalau tidak bersamamu. Ayolah!”
“Oke, tetapi pak Pendeta menemani saya ya? Saya takut?”
“Tentu saja, Michele. Tentu!” Saya membuka pintu dan pelan-pelan mengikuti Pendeta kembali ke ruang tengah pastori gereja. Ayah dan ibu masih belum masuk ruangan. Saya membayangkan mereka masih duduk di mobil di luar, memberi kesempatan kepada ayah untuk mempersiapkan diri apa yang harus ia katakan atau perbuat. Ibu mengetahui betapa saya ketakutan. Bukan takut diteriaki atau dimarahi ayah. Saya tidak pernah merasa takut kepada ayah. Yang saya takutkan adalah kesedihan di matanya. Saya merasa bersalah karena ketika saya ada dalam kesulitan, saya tidak datang meminta dukungannya. Yang saya tahu saya bukan lagi gadis kecil ayah yang membanggakannya.
Saya mendengar derap langkah kaki di jalan menuju pintu gereja. Bibir saya mulai bergetar, airmata saya mulai menetes di pelupuk mata, dan saya bersembunyi di balik Pendeta. Ibu masuk lebih dulu, dan menoleh kepada saya dengan tersenyum tipis. Mata Ibu terlihat bengkak karena airmatanya, dan saya bersyukur saya tidak melihat ibu menangis di depan saya. Lalu, datanglah ayah. Ia tidak menyalami Pendeta, langsung bergegas kepada saya, merangkul saya, mendekap saya di dadanya sambil berkata, “I love you. Saya mengasihimu, saya mengasihimu. Saya mengasihi bayi di kandunganmu juga.”
Ia tidak menangis. Tidak, itu bukan tipe ayah saya. Namun saya merasakan tubuh ayah bergetar. Saya tahu, ayah membutuhkan penguasaan diri yang besar agar dirinya tak menangis, dan saya bangga terhadapnya, dan berterima kasih kepadanya juga. Ketika ia mendorong saya dan memandang saya, nampak di matanya kasih dan kebanggaan itu. Bahkan pada saat sulit sekalipun.
“Saya menyesal, Ayah! Saya mengasihi Ayah.”
“Ayah tahu. Mari kita pulang.” Dan ke rumah kami pulang. Semua ketakutan saya lenyap. Masih akan ada penderitaan dan pencobaan yang bahkan saya tak dapat bayangkan. Namun saya memiliki keluarga yang kokoh dan penuh kasih yang saya tahu akan selalu ada di sana bagi saya. Lebih dari segalanya, saya masih tetap gadis kecil ayah. Diperlengkapi dengan kesadaran itu, tak ada gunung tinggi yang tak akan dapat saya daki dan tak ada badai yang tidak dapat saya lewati, bersama mereka. Terima kasih, Ayah!
(Kisah Michelle Campbell yang dimuat di Chicken Soup 1999)

June 8, 2012

Bersyukurlah

with god
“AKU TAK SELALU MENDAPATKAN APA YANG KUSUKAI,
OLEH KARENA ITU AKU SELALU MENYUKAI
APAPUN YANG AKU DAPATKAN.”

Kata-Kata Diatas merupakan wujud syukur.
Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting.
Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tentram dan bahagia.
Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita.
Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.

Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur.
Pertama : Kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah anda telah memiliki sebuah rumah,kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang terbaik. Tapi anda masih merasa kurang. Pikiran anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya
menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki, kita tak pernah menjadi "KAYA" dalam arti yang sesungguhnya.

Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang ''kaya''.
Orang yang ''kaya'' bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki. Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan disekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan men jadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, ''Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.'' Ini perwujudan rasa syukur.

Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.

Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.

Saya ingat, pertama kali bekerja saya senantiasa membandingkan penghasilan saya dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini membuat saya resah dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa teladan di kampus, saya merasa gelisah setiap mengetahui ada kawan satu angkatan
yang memperoleh penghasilan di atas saya. Nyatanya, selalu saja ada kawan yang penghasilannya melebihi saya. Saya menjadi gemar bergonta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai akhirnya saya sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya dapatkan. Kini saya sangat menikmati pekerjaan saya.

Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri.
Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa.
Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, ''Lulu, Lulu.''
Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini.
Si dokter menjawab, ''Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu.''
Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak,
''Lulu, Lulu''.
''Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?'' tanyanya keheranan.
Dokter kemudian menjawab, ''Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu.''

Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki.
Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia.
Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab,
''Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup ditanah seberang.  Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.''

Bersyukurlah !
Bersyukurlah bahwa kamu belum siap memiliki
segala sesuatu yang kamu inginkan ....
Seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan ?

Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu ....
Karena itu memberimu kesempatan untuk belajar ...

Bersyukurlah untuk masa-masa sulit ...
Di masa itulah kamu tumbuh ....

Bersyukurlah untuk keterbatasanmu ...
Karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang ...

Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru ...
Karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu ...

Bersyukurlah untuk kesalahan yang kamu buat ....
Karena Itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga ...

Bersyukurlah bila kamu lelah dan letih ...
Karena itu kamu telah membuat suatu perbedaan ...

Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik...
Hidup yang berkelimpahan datang pada mereka yang juga bersyukur akan masa surut...
Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif ...
Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu